12/18/2010

Bola masuk kedalam kertas

      Seorang pemain profesional bertanding dalam sebuah turnamen golf. Ia baru saja membuat pukulan yang bagus sekali yang jatuh di dekat lapangan hijau. Ketika ia berjalan di fairway, ia mendapati bolanya masuk ke dalam sebuah kantong kertas pembungkus makanan yang mungkin dibuang sembarangan oleh salah seorang penonton. Bagaimana ia bisa memukul bola itu dengan baik?
     Sesuai dengan peraturan turnamen, jika ia mengeluarkan bola dari kantong kertas itu, ia terkena pukulan hukuman. Tetapi kalau ia memukul bola bersama-sama dengan kantong kertas itu, ia tidak akan bisa memukul dengan baik. Salah-salah, ia mendapatkan skor yang lebih buruk lagi. Apa yang harus dilakukannya?

      Banyak pemain mengalami hal serupa. Hampir seluruhnya memilih untuk mengeluarkan bola dari kantong kertas itu dan menerima hukuman. Setelah itu mereka bekerja keras sampai ke akhir turnamen untuk menutup hukuman tadi.

    Hanya sedikit, bahkan mungkin hampir tidak ada, pemain yang memukul bola bersama kantong kertas itu. Resikonya terlalu besar. Namun, pemain profesional kita kali ini tidak memilih satu di antara dua kemungkinan itu.

     Tiba-tiba ia merogoh sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sekotak korek api. Lalu ia menyalakan satu batang korek api dan membakar kantong kertas itu. Ketika kantong kertas itu habis terbakar, ia memilih tongkat yang tepat, membidik sejenak, mengayunkan tongkat, wus, bola terpukul dan jatuh persis ke dalam lobang di lapangan hijau. Bravo! Dia tidak terkena hukuman dan tetap bisa mempertahankan posisinya.

      Unyuw…! Ada orang yang menganggap kesulitan sebagai hukuman, dan memilih untuk menerima hukuman itu. Ada yang mengambil resiko untuk melakukan kesalahan bersama kesulitan itu. Namun, sedikit sekali yang bisa berpikir kreatif untuk menghilangkan kesulitan itu dan menggapai kemenangan.

Mama, jangan marah..

     Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.
Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.
     Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!” Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, “Tunggu…, sepertinya saya mengenalmu.
Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Elic, Tante.”
“Eric? Eric… Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?”
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati…, mati…, mati… Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric…
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.
“Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..
     Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangissaya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric… Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali… Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.
     Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu… Air mata saya mengalir
dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…

“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…?
Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”

Saya menjerit histeris membaca surat itu.
“Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana … Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!”
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

wah, buddy .. apakah kalian tau ? ini cerita nyata loh :)
Thank You !

12/03/2010

Nirwana Saling Rindu

Buddies !
cikeen punyaa something great to share !
ini ada cerpen bikinan buddy ciken :)
Dia punya tugas buat bikin Cerpen (Cerita Pendek) ---> CULUN kalo ga tau
Dan ketika ciken baca, cerpeeeeeennyaaa unyuuuuu bangeeeeet >___<
pokoknya ciken suka bangeeet cerpennya hahaha
mana dia emang punya bakat penulis (Lah gue?)

iniii cerpeeen nyaaa :))
jangan di copas tanpa izin apalaagi mengatasnamakan yah >:(




Nirwana Saling Rindu

Langit itu biru. Daun itu hijau. Semua orang juga tahu, karena itu sudah tentu. Pernyataan yang tak bisa belok.
Begitu juga dengan kamu. Yang selalu tersenyum malu. Dan sama seperti filosofi langit-daun tadi, semua orang juga mungkin tahu cantikmu, apalagi kalau kamu tersenyum. Begitu manis, menggetarkan hatiku. Pernyataan tulus dari hatiku untuk kamu yang elok.
Seandainya ini masih jaman dulu, entah jaman kapan saat kata-kata gombal seperti : “Sayang, kalau aku jadi bulan, kamu jadi apa?” menjadi tren dalam dunia cinta-cintaan anak muda penuh gelora.
Dalam khayalanku, aku membayangkan seandainya aku punya kesempatan untuk bertanya kata-kata gombal itu padamu. Oh, bukan bertanya. Tetapi memberi pernyataan langsung. Akulah bulannya, dan kamu? Kamu terserah mau jadi apa. Tapi melihat elok wajahmu, pernyataan itu terbalik, kamu yang jadi bulannya. Karena kamu memang seperti layaknya bulan yang bersinar terang benderang di langit malam. Dan kamulah yang menentukan aku menjadi apa. Tapi… siapa aku?
Aku cuma si pemimpi. Berusaha berwibawa tapi tetap nihil, karena aku seorang pemimpi yang penuh dengan keraguan. Aku selalu berjalan meniti langkah hidupku dengan hati-hati, tanpa keyakinan yang pasti. Mereka bilang, kalau mau sukses, kita harus berani ambil resiko yang tinggi. Tebas semua penghalang yang ada. Aku kira kamu juga tau itu kan? Karena kamu begitu cerdas, membuatku kagum setengah mati.
Kalau kamu berada di radius yang dekat denganku, hatiku terasa bergetar. Bukan sekedar gombalan biasa, ini jujur dari hati. Kamu memiliki aura yang bisa membuat diriku hangat, walaupun saat itu sedang hujan lebat, lebat sekali dan udara menjadi dingin. Kemanapun kamu melangkah, aku juga ingin mengekor. Aku terbuai dalam derap langkah manismu yang seakan-akan langkah itu berjanji, kalau aku bisa ikut kemanapun kamu pergi.
Apapun yang aku lakukan, kamu selalu terbayang. Senyummu, gerak-gerikmu, caramu berbicara, caramu tertawa (yang membuat aku bahagia) dan semua tentangmu ada di benakku. Kamu bagai pusat nirwana yang khusus dibuat untukku di muka bumi ini.
Dari pertama kita bertemu, saat kita masih menjadi bocah dulu, kamu membuat kesan pertama yang membuat pandanganku padamu menjadi berbeda selamanya. Caramu dulu menolongku ketika aku terjatuh dari sepeda di taman bermain di kompleks saat kamu masih belum pindah dari rumahmu yang dulu, membuat hatiku dipenuhi kagum. Kamu berlari-lari kecil kearahku, dengan wajah panik dengan maksud kamu mau menolongku dengan rasa tulus. Lalu kamu mengulurkan tanganmu, membantuku bangkit berdiri. Membersihkan bajuku yang kotor terkena debu, lalu menatapku dan bertanya apakah aku baik-baik saja?
Aku terharu. Seperti Malinkundang yang membatu, aku malu. Bukan karena aku durhaka pada ibuku, tapi karena perhatianmu dan pertanyaan polos dan tulusmu itu.
Setelah kamu pindah, aku mengira kita tidak akan bertemu lagi. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Kamu dan aku bersekolah di  SMA yang sama, tiga tahun belajar bersama, di kelas yang berbeda.
Waktu masa pengenalan sekolah dulu, kamu tersenyum, menyapaku dengan akrab. Menepuk punggungku dengan ramah lalu bertanya :
“Hey, dulu kamu tetangga sekompleks aku kan?”
Dan aku hanya menjawab dengan anggukan.
Setiap naik kelas, aku selalu berharap bisa sekelas denganmu. Menimba ilmu di ruang yang sama denganmu. Memandang cantiknya parasmu diam-diam, lalu bicara denganmu, sebentar saja.
Tapi nyatanya aku tidak pernah sekelas denganmu. Kalau bertemu, aku hanya bisa tersenyum malu. Dan seperti biasa kau akan membalas senyumku dengan senyum terindah di dunia.
Kita saling tersenyum, tanpa bicara. Lagi pula mau bicara tentang apa?

***

Sekarang sudah delapan tahun sejak kita lulus SMA. Aku sudah dewasa, dan kamu juga. Semenjak kita lulus SMA, tak pernah aku lihat parasmu dan senyummu lagi. Seandainya ketika SMA dulu aku berani mendekatimu, mungkin sekarang kau menjadi milikku, dan akan tumbuh tua bersamaku.
Tuhan memberiku waktu tiga tahun di SMA, kesempatan untuk mendekatimu. Tapi aku menyia-nyiakan kesempatan itu. Hey nirwanaku, sedang apa kau disana? Rindu aku padamu. Dan ijinkanlah aku memanggilmu nirwana.
Karena
Aku
Pria
Paling
Pengecut
Hanya
Bicara
Saja
Tidak
Berani
Lalu titik(.)



Kata orang-orang, kalau jodoh tidak akan kemana-mana. Mendengar itu, sebenernya sih aku pengen ketawa. Antara percaya dan tidak. Dipikir-pikir, aneh juga sih. Bayangkan, tanpa susah-susah bergerak kemana-mana, jodoh bakalan datang dengan sendirinya. Haha iya deh, kalau kamu cantik, lucu, imut dan manis kayak madu. Tinggal diam saja, lebah-lebah pada datang mengerumuni. Tergiur manisnya si madu. Aduh enak ya jadi madu? Tapi kalau dipikir-pikir, manis sih iya, tapi kalau lebah yang datang cuma buat merasakan manisnya saja terus kalau sudah selesai langsung pergi, apa bagusnya?
Ngomong-ngomong soal madu dan mengingat tentang kamu, aku juga ingin menjadi madu, tapi hanya untukmu. Dengan ijin Yang Maha Esa, tentunya. Supaya hubungan kita halal, dan kita menjadi keluarga kecil yang bahagia.
Bicara tentang kamu yang megah batinnya, rasanya tidak pantas bagi seorang seperti aku mengharapkanmu. Sekarang mari bicara dulu tentang aku.
Aku? Tidak ada yang spesial dariku. Dari segi fisik aku jauh dari kata cantik, walaupun mereka bilang cantik itu relatif tapi aku kurang bisa percaya itu. Setidaknya dalam standar cantik Indonesia, cantik itu identik dengan kulit putih mulus, badan langsing, muka manis, rambut lurus panjang hitam mengkilap, dan postur tubuh tinggi.
Sedangkan aku?
Kulit tidak pantas di sebut putih. Berbagai merk lotion pemutih sudah aku coba, tapi tidak memberikan hasil yang signifikan. Lalu aku menyerah, menerima dengan ikhlas dan lapang dada warna kulit pemberian Tuhan Yang Maha Esa ini.
Badan langsing, bolehlah. Tapi di tubuhku banyak lemak berkeliaran disana-sini dengan riangnya. Maka, aku tidak langsing.
Muka manis, aku tidak tau harus memulai dari mana mendeskripsikan muka manis untuk wajahku yang standar ini.
Rambut lurus panjang hitam? Hahaha, rambutku itu kain.
Postur tubuh tinggi? Yang ini benar, tapi bila aku dijejerkan dengan kurcaci.
Jadi, dari segi apa aku menariknya untukmu?
Supaya tidak terlihat terlalu tidak menarik (tidak cantik yang diperhalus). Aku perbanyak tersenyum.

***
Aku mengenalmu sejak aku tahu rumahmu yang bercat biru itu dekat dengan rumahku, yang artinya kita bertetangga. Tapi karena perbedaan gender, kita tidak pernah bermain bersama. Aku bermain boneka dengan teman-temanku, kamu berbalapan sepeda dengan teman-temanmu.
Tapi aku kagum padamu, karena kamu baik dan tidak pernah menggangguku. Memperlakukan aku dengan sopan, tidak seperti anak laki-laki lainnya yang suka menggangguku. Menarik kepangan rambutku, membuatku menangis, lalu pergi begitu saja tanpa meminta maaf sambil menjulurkan lidah.
Yang paling membuatku berkesan, apabila pohon jambu air di lapangan kompleks berbuah lebat dan anak-anak satu kompleks berebut memanjat untuk memetik buah (terutama anak laki-laki), dan kami anak-anak perempuan hanya bisa menonton, kamu datang kepadaku. Memberiku beberapa buah jambu air, lalu tersenyum, dan pergi lagi kembali bermain dengan teman-temanmu.
Mungkin kamu baik karena keluargamu yang sederhana itu telah membentuk pribadimu yang baik itu.
Setelah kumandan adzan Maghrib, sering kudengar suara lantunan Quran dari rumahmu itu. Dan aku pun menjadi kagum. Betapa taatnya kelurgamu akan ajaran agama.
Tapi, karena suatu hal, keluargaku harus pindah rumah. Itu berarti aku harus meninggalkanmu. Aku kira, setelah pindah rumah aku akan berpisah selamanya denganmu.
Dan takdir pun berkata lain. Kita satu SMA. Aku masih ingat bagaimana aku menyapamu di hari pertama masa pengenalan sekolah dulu. Sebenarnya aku malu, tapi aku pura-pura berani. Karena aku bertemu denganmu lagi. Aku sangat senang, bagaikan menemukan jarum di tumpukan jerami.
Setiap kenaikan kelas, aku selalu berharap nama kita berada di satu daftar nama yang sama. Dan dihari-hari selanjutnya, aku hanya bisa tersenyum bila bertemu denganmu. Ingin rasanya bicara denganmu, walaupun hanya satu kalimat saja.
Menjadi teman dengan orang berbudi baik sepertimu, yang selalu rajin ke mushola untuk menghadap sang Illahi.
Yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Yang santun sederhana, tipikal pemuda harapan bangsa dan kebanggan ibunda. Yang apabila aku menjadi milikmu, kamu bisa menuntunku kearah yang benar.
Ah, andai aku menarik. Pasti kamu suka.

***
Sekarang sudah delapan tahun semenjak kita lulus SMA, dan aku tidak pernah melihatmu lagi. Apa kabarmu disana? Baikkah? Jadi apa kamu sekarang? Aku ingin tahu semuanya tentangmu.
Masih ingatkah kamu padaku? Ini sebenarnya yang paling ingin aku tahu.
Mereka bilang, kalau jodoh tidak akan kemana-mana.
Dan disinilah aku. Hanya bisa menunggu. Menunggu apa? Haha aku juga bingung sebenarnya. Mau berdoa pada Yang Maha Esa juga aku malu duluan. Aku tidak pantas untukmu, yang penuh wibawa dan berbudi pekerti.
Mengharapmu saja aku tidak pantas.
Jadi aku cuma bisa terus berharap dan berharap, dan merindukanmu.
Layaknya nirwana yang indah, begitu juga kamu. Indah tapi susah juga untuk digapai.
Maka ijinkanlah aku menjadikanmu nirwana, setidaknya dihatiku.
Dan Selesai.



 Written by Dessy Nur Amelia



Kalau mau, DOWNLOAD aje :)

Favorite Quote

What We Want Is Not Always What We Need.